Rabu, 22 Mei 2013

Sejarah marpol



  1. A. SEJARAH KONVENSI MARPOL
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama kapal tiga tahun kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul.
Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris (UK), lahirlah “Oil Pullution Convention, yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin kapal lainnya.
Sebagai hasilnya adalah sidang IMO mengenai “international Conference on Marine Pollution” dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973 yang menghasilkan “international Convention for the Prevention of Oil Pollution from Ships” tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention) Protocol tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang.
Difinisi mengenai “Ship” dalam MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut:
“Ship means a vessel of any type whatsoever operating in the marine environment and includes hydrofoil boats, air cushion vehhicles, suvmersibles, ficating Craft and fixed or floating platform”.
Jadi “Ship” dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis bangunan yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang atau tertanam tetap di dasar laut.


  1. B. ISI PERATURAN MARPOL

Peraturan mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran lingkungan maritim yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai diatur dalam MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :
1. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973.
Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.
2. Protocol of 1978
Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.
Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.
Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai :
- a.         Protocol I
Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.
Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.
Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan :
  • Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.
  • Waktu, tempat dan jenis kejadian
  • Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah
  • Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan
Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.
- b.         Protocol II mengenai Arbitrasi
Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.
Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :
Annex I  Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2 Oktober 1983
Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious  Substances) dalam bentuk Curah                                 Mulai berlaku 6 April 1987
Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk  Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1991
Annex IV Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage)
diberlakukan 27 September 2003
Annex V  Pencemaran Sampah Mulai berlaku 31 Desember 1988
Annex VI  Pencemaran udara  belum diberlakukan
Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.
  1. C. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA ANGGOTA MARPOL 73/78
  1. Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah suatu negara
  2. Memberlakukan Annexexes I dan II – Administrasi hukum / maritim
  3. Memberlakukan optimal Annexes dan melaksanakan – Administrasi hukum / maritim.
  4. Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim
  5. Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim
  6. Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim
  7. Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan – administrasi maritim.
  8. Memberitahu IMO – Administration maritim
  9. Memeriksa kapal – Administrasi maritim
  10.   Memonitor pelaksanaan – Administrasi maritim
  11. Menghindari penahanan kapal – Administrasi kapal
  12.  Laporan kecelakaan – Administrasi maritim / hukum
  13.   Menyediakan laporan dokumen ke IMO (Article 11) – Administrasi maritim
  14.  Memeriksa kerusakan kapal yang menyebabkan pencemaran dan melaporkannya – Administrasi maritim.
  15.  Menyediakan fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi maritim.

Pengertian AZIMUTH PODDED PROPULSION SISTEM




                         AZIMUTH PODDED PROPULSION SISTEM  
 
Azimuth podded propulsion sistem adalah sistem propulsi kapal dimana propeller serta sistem shafting terletak pada sebuah konstruksi pod yang menempel pada konstrusi lambung kapal, konstruksi pod tersebut memiliki sebuah poros vertikal sehingga pod tersebut dapat melakukan gerakan rotasi horisontal, hal ini menjadikan azimuth pod memberi kelebihan dalam hal manuvering pada saat kapal beroperasi.


Pada tahun 1960 seorang berkebangsaan Finlandia mangembangkan sisem propulsi menggunakan sistem shaft Z drive, pada sistem ini poros dari gearbox Main engine di transmisikan oleh roda gigi helic sehingga membentuk sistem poros yang menyerupai huruf Z yaitu poros dengan sumbu horisontal ditransmisikan ke poros vertikal oleh roda gigi helic dan terakhir ditransmisikan ke proros horisontal yang terhubung langsng dengan propeller, konsep inilah yang men-gawali perkembagan azimuth pod sampai sekarang.


Selanjutnya sebuah perusahaan yang juga berbasis di Finlandia mengembangkan Azimuth pod yang menggunakan elektrik motor sebagai penggerak, elektrik motor terletak pada konstruksi pod yang terhubung langsung dengan poros propeller atau dengan sistem yan hampir sama dengan Z drive dengan batasan elektrik motor sebagai penggeraknya, elektrik motor mandapatkan suply daya dari alternator yang digerakkan oleh main engine, maupun suply daya auxiliary engine.

Kelebihan Azimuth pod dengan elektrik motor salah satunya adalah tingkat noise and vibration yang relative rendah, selain itu saat Azimuth pod tidak difungsikan, alternator tetap dapat mensuply kebutuhan listrik di kapal.

Dengan azimuth podded propultion sistem seorang ship designer akan semakin mudah dalam merancang sistem pro-pulsi kapal secara keseluruhan diantaranya kerumitan dalam merancang sistem shafting, stern tube, stern frame sistem dan sistem kemudi (Rudder system).